Review Film Frankenstein 2025, Ketika Manusia Berlagak Seperti Tuhan
Selebriti Nov. 16 2025

Review Film Frankenstein 2025, Ketika Manusia Berlagak Seperti Tuhan

Liputan6.com, Jakarta - Itulah kalimat yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kisah satu ini. Lagi-lagi, Frankenstein (2025) bisa jadi salah satu karya terbaik sutradara Guillermo Del Toro. Diadaptasi dari novel ciptaan Mary Shelley yang terbit pertama kali pada tahun 1818, setiap aspek yang terdapat dalam film ini merupakan suatu kesempurnaan jika kamu pecinta horror-gotik.

Film yang tayang di Netflix 7 November lalu ini dibuka dengan adegan menegangkan antara sekelompok pelaut yang kapalnya terjebak di lautan membeku dan dikejutkan dengan ledakan yang muncul dari kejauhan. Dari sana, mereka menemukan seorang pria dan membawanya menuju kapal mereka. Tanpa mengetahui bahaya apa yang tengah mengintai. 

Sesosok makhluk tinggi nan besar, dengan jubahnya yang compang-camping dan suara yang terbata-bata ketika berbicara datang memporak-porandakan kapal mereka dan membunuh para awak kapal yang berani menghalangi dirinya. Satu kata yang terlontar dari mulut sang-makhluk, “Victor!”

Waktu mereka tidak lama. Sang-makhluk tidak dapat mati dan Victor Frankenstein (Oscar Isaac) hanya punya sedikit waktu untuk menceritakan kisahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Makhluk apa yang mengejar dirinya? Dan yang pasti, seperti apa kebenarannya? 

Frankenstein versi Guillermo Del Toro bisa dibilang sebagai salah satu adaptasi paling ambisius dari kisah klasik Mary Shelley. Guillermo berhasil membawa warisan kisah klasik ini ke dalam konteks era modern tanpa kehilangan aspek gotiknya.

Dengan pendekatan yang lebih gelap dan filosofis, Guillermo menggeser narasi ke ranah yang lebih dalam. Yaitu pertanyaan moral mengenai teknologi penciptaan, eksperimen biologis, dan batas kemanusiaan di zaman ketika sains berkembang jauh lebih cepat daripada empati dan etika. 

Alih-alih sekadar horor monster, film ini mengangkat sisi eksistensial yang membuat penonton merenungkan ulang posisi manusia sebagai pencipta dan konsekuensi dari keputusan yang lahir dari obsesi. Hasilnya adalah reinterpretasi yang terasa modern, relevan, dan tetap memiliki jejak elegan dari kisah aslinya.

Ditambah dengan sentuhan Guillermo yang khas, yaitu menjahit ketakutan dengan kesedihan sehingga setiap makhluk yang diciptakan bukan lagi sekedar monster, melainkan jiwa yang terluka. Dengan begitu, ia lagi-lagi berhasil membuat audiens berempati terhadap salah satu sosok makhluk fiksi yang paling di salah pahami dalam dunia sastra ini. 

Salah satu alasan Frankenstein (2025) begitu nyantol di ingatan adalah performa akting para pemainnya. Karakter Victor Frankenstein (Oscar Isaac) digambarkan dengan kedalaman psikologis yang kuat, seorang ilmuwan muda yang tampak brilian di permukaan, tetapi sebenarnya rapuh, dipenuhi ambisi yang membuatnya buta terhadap realitas. 

Oscar Isaac berhasil menyampaikan perpecahan batin antara kebutuhan untuk membuktikan diri dan ketakutannya terhadap apa yang ia ciptakan. Sementara itu, sang makhluk tanpa nama yang diperankan Jacob Elordi tampil dengan karisma yang jarang terlihat di adaptasi sebelumnya. 

Bukan sekadar figur menakutkan, tetapi makhluk tragis yang mencari arti hidup, kasih sayang, dan penerimaan. Setiap ekspresi, gestur, hingga sorot matanya memancarkan kesedihan mendalam, membuat penonton memahami bahwa tragedi terbesar film ini lahir dari kesalahpahaman dan penolakan. Interaksi keduanya, baik dalam konflik maupun momen tanpa dialog, menjadi pusat emosional yang memperkuat keseluruhan film.

Secara teknis, film ini menggabungkan efek visual modern yang membangun nuansa realistis sekaligus unsettling. Adegan penciptaan makhluk menjadi salah satu set piece paling mengagumkan, penuh detail biologis, sinar kilat listrik, dan nuansa laboratorium yang dingin hingga membuat penonton seakan ikut menyaksikan lahirnya eksperimen yang seharusnya tidak pernah dilakukan. 

Sinematografinya konsisten menonjolkan permainan cahaya dan bayangan untuk menekankan kesendirian maupun keterasingan masing-masing karakter. Sementara scoring yang indah nan menghantui menciptakan lapisan ketegangan tambahan. 

Namun lebih dari itu, Frankenstein (2025) kuat karena pesan moralnya. Bahwa ambisi tanpa pertimbangan logis dapat melahirkan kehancuran, bahwa penciptaan tanpa tanggung jawab adalah bentuk keegoisan, dan bahwa monster sesungguhnya mungkin bukan ciptaan, tetapi manusia egois yang menolak mengakui kesalahannya. Film ini menutup kisahnya dengan nuansa tragis yang dalam, meninggalkan rasa hampa bagi siapa pun yang menontonnya.